Oleh: Muhamad Karyono
Rasa-rasanya tak ada negara yang lebih menarik untuk
dikupas melebihi Saudi Arabia. Sederet frase mungkin langsung
terbayang dalam benak kita begitu mendengar nama Saudi. Negeri
kelahiran Rasulullah , dua kota suci, Wahabi, minyak, dan sebagainya.
Perspektif orang terhadap negara tersebut pun secara umum terbagi
dalam dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian
rupa atau membenci sejadi-jadinya.
Bagi yang mengagumi Saudi,
negeri yang kini dinakhodai oleh Raja Abdullah tersebut selalu
dilihat dalam kaca mata putih sebagai pelindung utama dakwah tauhid,
negeri yang sukses mendistribusikan kemakmuran terhadap segenap
rakyatnya, negeri yang sukses menegakkan keamanan di segenap penjuru
wilayahnya, serta negeri yang konsisten dengan hukum Islam di tengah
moderenitas.
Sementara bagi para pembenci Saudi, negara tersebut
selalu dilihat dengan kaca mata hitam sebagai negeri yang lahir
dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan intoleran’,
antek Amerika, pengusung diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang
hak-hak wanita, serta kehidupan glamour sebagian elitnya.
Namun justru adanya dua perspektif yang saling
bertolak belakang itulah yang menyebabkan ‘pesona’ Saudi kian
berbinar. Sejumlah karya kontroversi yang bertemakan Saudi selalu
menggelitik untuk ditelisik. Sebut saja Dinasti Bush Dinasti
Saud, The Girls of Riyadh hingga Kudeta
Makkah.
Meski sederet buku tersebut cenderung
mendiskreditkan Saudi, namun di sisi lain adanya karya-karya semacam
itu justru menunjukkan pengakuan banyak pihak akan eksistensi Saudi.
Bahkan sejak lahirnya cikal bakal kerajaan Saudi Arabia lewat dakwah
tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad Ibnu Su’ud,
gemanya pun langsung berasa di berbagai negeri Muslim. Di
tanah air, pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di tanah Minang.
Biografi memukau Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang
dibesarkan di pengasingan dalam kondisi penuh keterbatasan sebelum
sukses mendirikan kerajaan Arab Saudi moderen, tak
pelak menghadirkan kekaguman pula bagi Bung Karno.
Dalam salah satu suratnya yang ditulis di Endeh dan
ditujukan kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno menyatakan kekagumannya
akan biografi Ibnu Saud dengan ungkapan,
“Ia adalah menggambarkan
kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan
element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur”
dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama
sekali.”
Eksistensi Saudi di mata internasional semakin
diakui kala Raja Faisal memimpin embargo minyak
terhadap negara-negara Barat pendukung zionis yang mengakibatkan
dunia industri di Eropa dan Amerika kalang kabut. Meski kini
Saudi menerapkan politik kooperatif terhadap Amerika Serikat dan
sekutunya, bukan berarti peran Saudi dipandang sebelah mata.
Satu hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti
Bush Dinasti Saud. Konon dua hari pasca tragedy 11 September
2001, di saat seluruh lalu lintas udara Amerika Serikat ditutup,
Gedung Putih tetap mengizinkan kepergian 140 penumpang pesawat yang
kebanyakan warga Saudi dan saudara dekat Osamah bin Laden. Dalam
analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya lobi duta Saudi
terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Mencermati hubungan Amerika Serikat-Saudi Arabia
memang sangat menarik bila dikaitkan dengan latar belakang kedua
negara yang saling bertolak belakang. Amerika
Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu
mendewakan kebebasan dalam segala bidang, sementara
Saudi merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
‘puritanisme’ dalam Islam. Amerika
merupakan negara pendukung utama rezim zionis Yahudi,
sedangkan Saudi tidak pernah mengakui
eksistensi pemerintahan Yahudi di Palestina.
Politik luar negeri Saudi yang bagi banyak orang
terlihat kontradiktif dengan ideologi negara yang dianutnya, tak
pelak memantik minat banyak pengamat untuk melontarkan sejumlah
teori. Secara umum, teori tersebut
menyebutkan bahwa kedekatan hubungan Saudi-AS semata-mata didasari
atas simbiosis mutualisme antara kedua negara. AS
yang merupakan negara konsumen minyak terbesar dunia membutuhkan
limpahan suplai minyak dari Saudi,
sementara Saudi membutuhkan peralatan militer dari AS guna menjaga
kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu, identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan sebagai negara yang kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain, menyebabkannya dimusuhi oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama lain pun saling mengusung ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok dimaksud antara lain adalah kalangan liberal, Syi’ah, Al-Qaeda, dan tradisionalis.
Di mata kaum liberal,
Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di segenap lini merupakan
ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung kampanye “hukum
Islam tak lagi relevan saat ini.” Tegaknya
Islam di Saudi yang berefek pada pemerataan kemakmuran terhadap
segenap rakyatnya merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tetap relevan sampai
kapanpun.
Bagi kalangan Syi’ah,
Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama
dalam menyebarkan aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru
dunia. Bahkan Saudi turut
menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di Bahrain dengan
mengirimkan pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di
negeri tersebut. Maka untuk menggaet simpati kaum
Muslimin secara umum, orang-orang
Syi’ah menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan bahwa
Republik “Syi’ah” Iran merupakan negara yang berada di garda
terdepan dalam menentang Amerika dan Israel. Namun
faktanya, Iran yang dituding mengembangkan senjata nuklir tidak
pernah sekalipun terlibat peperangan terbuka dengan Amerika maupun
Israel.
Sedangkan di mata
kelompok Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’,
Saudi dianggap sebagai negara kafir lantaran
sikap kooperatifnya dengan Amerika. Hal
itu sebagaimana dinyatakan oleh Osama bin Laden yang menegaskan bahwa
Saudi tidak layak disebut negara Islam karena dinilai sebagai antek
Amerika. Konsekuensi dari stigma
kafir terhadap pemerintah Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada
meletusnya teror bom Riyadh 2004.
Dan dalam pandangan
kaum tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan budaya
lokal, eksistensi Saudi
dianggap sebagai musuh karena merupakan pendukung utama dakwah
pemurnian Islam. Setiap tahunnya
pemerintah Saudi memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar dari
segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri tersebut.
Sepulang dari Saudi, mereka yang lulus dari
universitas Islam di negara itu menjadi penyeru dakwah tauhid yang
mementang segala praktek bid’ah dan kemusyrikan. Saudi juga
memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Islam di berbagai negeri Muslim,
seperti LIPIA di Indonesia dengan misi utama menebarkan dakwah
tauhid. Maka tak heran, kaum
tradisionalis yang praktek beragamanya masih lekat dengan kemusyrikan
selalu menempatkan Saudi sebagai negara yang dimusuhi.
Menariknya, keempat kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan Saudi dan Amerika sebagai senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan tersebut. Satu pemandangan aneh, kalangan liberal dan tradisionalis merupakan kelompok yang paling alergi terhadap segala teori konspirasi Yahudi yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam pergerakan’ (baik Hizbut Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun bila konspirasi Yahudi itu menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka berada di garda terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati kebijakan luar negeri Saudi, sejatinya
tidak melulu soal poros Riyadh-Washington. Ada banyak kebijakan luar
negeri Saudi yang berdampak positif bagi solidaritas sesama Muslim.
Di samping besarnya peran Saudi dalam bidang pendidikan, lewat
kebijakan pemberian beasiswa besar-besaran kepada para pelajar Muslim
untuk melanjutkan studi ke negeri tersebut serta pendirian
universitas-universitas Islam di mancanegara maupun sumbangan dana
kepada yayasan yang menaungi dakwah di berbagai penjuru dunia, Saudi
merupakan satu-satunya negara di dunia yang sudah sejak lama membuka
pintu lebar-lebar kepada para pengungsi Rohingya.
Bila kehidupan warga Muslim Rohingya di negara
asalnya sangat memprihatinkan akibat kebijakan represif penguasa
Buddhist, serta yang mengungsi ke negara lain pun nasibnya
terkatung-katung, tidak demikian dengan warga Muslim Rohingya di
Saudi. Semenjak Raja Abdul Aziz
menawari perlindungan keamanan kepada pengungsi Rohingya di negaranya
tahun 1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat Muslim Rohingya yang
tinggal di negeri kelahiran Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam itu.
Bahkan pada Maret lalu, pemerintah Saudi memberikan
status kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim Rohingya. Itu artinya
kini mereka berhak atas fasilitas kesehatan, pendidikan, dan hak
mendapatkan pekerjaan yang setara dengan penduduk lokal.
“Dunia baru menyadari
penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun lalu. Tapi Arab
Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan mereka sejak
lama,” kata Abdullah Marouf, sekretaris jenderal
komunitas Burma dan kepala Global Rohingya Center di Jeddah, dilansir
Arab News (selengkapnya lihat di sini).
Tak hanya terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi
memberikan uluran tangan. Tatkala
terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah dan rakyat
Saudi juga menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana semua
sumbangan itu berbentuk hibah.
Di kesempatan lain, pasca terjadinya serangan udara
secara ofensif pasukan zionis terhadap jalur Gaza selama beberapa
pekan di awal tahun 2009, pemerintah
dan rakyat Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1 miliar dollar
untuk rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya,
besarnya sumbangan Saudi kepada dunia Islam memang jarang terekspose
media lantaran berita yang semacam itu dianggap ‘kurang menjual’.
Dengan demikian,
semenjak lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi hingga hari ini,
tak ada yang mengingkari bahwa Saudi merupakan negara yang paling
berpengaruh terhadap dunia Islam. Berkembangnya
seruan revivalisasi (pemurnian) Islam yang bergema di berbagai negeri
Muslim, termasuk Indonesia belakangan ini, tak lepas dari peran Saudi
Arabia.
Meskipun bagi sebagian
kalangan ‘Islam pergerakan’, eksistensi Saudi kerap diabaikan
lantaran hubungan diplomatiknya dengan Amerika, namun
sumbangan Saudi dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap dunia
Islam tetap tak terbantahkan.
Terkait hal ini, satu catatan yang seharusnya diingat oleh kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala kondisi umat Islam tengah tercerai-berai bak buih di lautan, maka mendahulukan konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh lebih utama ketimbang sikap-sikap konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!http://m.kompasiana.com/post/luar-negeri/2013/08/04/saudi-pemimpin-negara-islam-atau-antek-amerika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar