Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A.TAQDIM
Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya keberbagai pelosok negeri, sehingga kita dapat merasakan ni’matnya iman dan Islam.
Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya keberbagai pelosok negeri, sehingga kita dapat merasakan ni’matnya iman dan Islam.
Perjuangan mereka dalam li’ila-i kalimatillah
telah banyak menelan harta dan jiwa. Mereka
adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada Islam,
benar-benar membela kepentingan umat Islam, setia kepada Allah dan
Rasul-Nya tanpa kompromi, mereka tunduk
kepada hukum-hukum agama Allah, tujuan mereka adalah
untuk mendapatkan keridhaan Allah dan Sorga-Nya.
Model dan corak kehidupan
masyarakat Islam terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari, model
masyarakat Islam seperti yang tercermin dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah benar-benar dipraktekkan oleh mereka dan hal yang seperti
ini belum pernah kita jumpai dalam sejarah umat sejak dulu sampai
hari ini. Hidup mereka dilandasi Iman,
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka selalu berjalan dalam
prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah.
Persoalan ‘Adalatus Shahabah (Keadilan Shahabat)
sudah diyakini oleh umat Islam dari masa Shahabat sampai hari ini,
bahwa merekalah orang-orang yang adil
dan benar. Tetapi dalam rangkaian
sejarah yang panjang ada saja kelompok
yang selalu merongrong eksitensi perjuangan mereka bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelompok/golongan ini
mengaku diri mereka “Islam” ? Mereka lebih
terkenal dengan nama “kelompok Syi’ah
atau agama Syi’ah” karena aqidah mereka berbeda
dengan aqidah kaum muslimin. Agama Syi’ah yang dianut sekarang ini
adalah Agama Syi’ah Immamiyah Itsna ‘Asy’ariyah. Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asy’ariyah sejak dulu sampai hari ini telah
sepakat mengkafirkan ketiga Khulafa’ur
Rasyidin (mengecualikan Ali bin Abi Thalib) dan semua
shahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kecuali 3 atau 4 shahabat.
Semua buku-buku mereka dipenuhi dengan
caci makian, penghinaan, dan laknat kepada Khulafa’ur Rasyidin dan
shahabat-shahabat yang lainnya. Di dalam kitab
Al-Furu’ul Kaafi jilid 3 fatsal Kitabur Raudhah hal.115 karangan
Al-Kulaini disebutkan : Bahwa ada seorang murid Muhammad Al-Baqir
bertanya tentang Abu Bakar dan Umar. Lalu ia jawab : “Tidak ada
seorangpun yang mati dari kalangan kami (Syi’ah) melainkan benci
dan murka kepada Abu Bakar dan Umar”. Bahkan Khumaini dalam
kitabnya Kasyful Asrar hal. 113-114 (cet. Persia) menuduh para
shahabat kafir. Wal-‘Iyaadzu billah. [1]
Pengikut agama Syi’ah
di Indonesia yang terdiri dari cendikiawan, mahasiswa
dan orang-orang awam berusaha mencari-cari kesalahan individu dan
meragukan ‘adalah (keadilan) mereka
para shahabat, untuk menguatkan aqidah mereka yang
rusak tentang shahabat dan tujuannya untuk merusak Agama Islam,
karena bila shahabat sudah dicela maka otomatis Al-Qur’an dan
Sunnah dicela, karena merekalah
(shahabat) yang pertama kali menerima risalah Islam yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Pengikut agama Syi’ah berusaha agar Islam ini hancur.
Membicarakan sikap dan
kedudukan shahabat dan mengkritiknya berarti
mengkritik Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meragukan
keadilan mereka berarti meragukan
kesaksian Allah dan pujian Allah serta pujian Rasulnya terhadap
mereka.
Orang-orang Syi’ah
mengkritik para shahabat dengan menggunakan portongan-potongan ayat
Qur’an dan hadits Nabi untuk kepentingan
hawa nafsu mereka, dan meninggalkan
puluhan ayat dan ratusan hadits Nabi yang shahih yang memuji keadilan
shahabat.
Standar nilai dan tolok ukur prilaku mereka yang
tepat adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sebagai penguat adalah pendapat Jumhur Ulama kaum
Muslimin.
Oleh karena itu penulis akan paparkan nash-nash
tentang ‘adalah shahabat.
B. DIFINISI
SHAHABAT
1. Menurut Lughah [Bahasa].
Shahabi diambil dari kata-kata Shahabat = Persahabatan, dan bukan diambil dari ukuran tertentu yakni harus lama bersahabat, hal ini tidak demikian, bahkan persahabatan ini berlaku untuk setiap orang yang menemani orang lain sebentar atau lama. Maka dapat dikatakan seseorang menemani si fulan dalam satu masa, setahun, sebulan, sehari atau sejam. Jadi persahabatan bisa saja sebentar atau lama. Abu Bakar Al-Baqilani (338-403H) berkata : “Berdasarkan defenisi bahasa ini, maka wajib berlaku difinisi ini terhadap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kendatipun hanya sejam di siang hari. Inilah asal kata dari kalimat Shahabat ini”. [2]
1. Menurut Lughah [Bahasa].
Shahabi diambil dari kata-kata Shahabat = Persahabatan, dan bukan diambil dari ukuran tertentu yakni harus lama bersahabat, hal ini tidak demikian, bahkan persahabatan ini berlaku untuk setiap orang yang menemani orang lain sebentar atau lama. Maka dapat dikatakan seseorang menemani si fulan dalam satu masa, setahun, sebulan, sehari atau sejam. Jadi persahabatan bisa saja sebentar atau lama. Abu Bakar Al-Baqilani (338-403H) berkata : “Berdasarkan defenisi bahasa ini, maka wajib berlaku difinisi ini terhadap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kendatipun hanya sejam di siang hari. Inilah asal kata dari kalimat Shahabat ini”. [2]
2. Menurut Istilah
Ulama Ahli Hadits.
Kata Ibnu Katsir : “Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau”.
Kata Ibnu Katsir : “Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau”.
Kata Ibnu Katsir :” Ini pendapat Jumhur Ulama
Salaf dan Khalaf (=Ulama terdahulu dan belakangan)”. [3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani melengkapi
definisi Ibnu Katsir, ia Berkata :”Definisi yang paling shahih
tentang Shahabat yang telah aku teliti ialah : “Orang
yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”.
Masuk dalam difinisi ini ialah orang yang bertemu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lama atau sebentar, baik
meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut berperang
bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat
beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang
tidak pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini
orang yang beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam
dan wafat dalam keadaan Islam seperti Asy’ats bin Qais.
Kemudian yang tidak
termasuk dari definisi shahabat ialah :
[a]. Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir
meskipun dia masuk Islam sesudah itu (yakni sesudah wafat
beliau).
[b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
[c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal’iyaadzu billah. [4]
[b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
[c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal’iyaadzu billah. [4]
Keluar pula dari
definisi shahabat ialah orang-orang
munafik meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya mencela
orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan
orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka
[Lihat : Al-Qur’an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga
surat Ali Imran : 8 – 20].
Sistim mu’amalah yang diterapkan oleh Rasulullah
dan para shahabat dalam bergaul dengan orang-orang munafiqin jelas
menunjukan bahwa shahabat bukanlah munafiqin dan munafiqin bukanlah
shahabat. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa diantara shahabat ada yang
munafik !!! Ayat-ayat Al-Qur’an dengan jelas membedakan mereka :
Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerangi orang-orang kafir dan munafiq [At-Taubah:73,
At-Tahriim:9], sedangkan kepada orang-orang yang beriman , Allah
menyuruh beliau menyayangi mereka [Asy-Syu’araa’ :215,
Al-Fath:29].
Orang-orang munafiq tidak mendapat ampunan dari
Allah [At-Taubah:80, Al-Munafiquun:6], sedangkan orang-orang beriman
mendapatkan ampunan dari Allah [Muhammad:19].
Nabi, para shahabat dan orang-orang yang beriman
dilarang menyalatkan mayat munafiqin [At-Taubah:84] sedangkan mayat
orang yang beriman wajib di shalatkan sebagaimana disebutkan dalam
hadits-hadits shahih. Dan ayat-ayat lain serta hadits yang membedakan
mereka.
3. Pendapat Ulama
Tentang Definisi Shahabat.
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar merupakan definisi Jumhur Ulama di antara mereka ialah Imam Bukhari, Imam Ahmad, Imam Madini, Al’iraqi, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Suyuti dll. Ibnu Hajar berkata : Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ahli Ushul Fiqih yang berpendapat demikian Ibnul Hajib, Al-Amidi dan lain-lain. [5]
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar merupakan definisi Jumhur Ulama di antara mereka ialah Imam Bukhari, Imam Ahmad, Imam Madini, Al’iraqi, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Suyuti dll. Ibnu Hajar berkata : Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ahli Ushul Fiqih yang berpendapat demikian Ibnul Hajib, Al-Amidi dan lain-lain. [5]
D. BAGAIMANA BISA
DIKETAHUI SESEORANG ITU DIKATAKAN SHAHABAT ?
Kita dapat mengetahui seseorang itu dikatakan shahabat dengan :
[a]. Kabar Mutawatir seperti Khulafaur Rasyidin dan 10 orang ahli surga.
[b]. Kabar yang masyhur yang hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa’labah dan ‘Ukkaasyah bin Mihsan.
[c]. Dikabarkan oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi’i Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy’ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[d].Seseorang memberitakan tentang dirinya bahwa ia adalah seorang shahabat Rasulullah dan dimungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menurut pemeriksaan ahli hadits bahwa ia memang seorang yang adil dan wafatnya tidak melebihi tahun 110H. [6].
Kita dapat mengetahui seseorang itu dikatakan shahabat dengan :
[a]. Kabar Mutawatir seperti Khulafaur Rasyidin dan 10 orang ahli surga.
[b]. Kabar yang masyhur yang hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa’labah dan ‘Ukkaasyah bin Mihsan.
[c]. Dikabarkan oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi’i Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy’ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[d].Seseorang memberitakan tentang dirinya bahwa ia adalah seorang shahabat Rasulullah dan dimungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menurut pemeriksaan ahli hadits bahwa ia memang seorang yang adil dan wafatnya tidak melebihi tahun 110H. [6].
D. MAKNA ‘ADALATUS
SHAHABAH
[1]. Menurut Bahasa.
Adalah atau ‘Adl lawan dari Jaur artinya kejahatan. Rojulun ‘Adl maksudnya : seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan diberi kesaksiannya. [Lihat Kamus Muktarus-Shihah hal. 417 cet. Darul Fikr].
[1]. Menurut Bahasa.
Adalah atau ‘Adl lawan dari Jaur artinya kejahatan. Rojulun ‘Adl maksudnya : seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan diberi kesaksiannya. [Lihat Kamus Muktarus-Shihah hal. 417 cet. Darul Fikr].
[2]. Menurut Istilah Ahli Hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”. [Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar hal. 29 cet. Maktabat Thayibah tahun 1404H].
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”. [Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar hal. 29 cet. Maktabat Thayibah tahun 1404H].
[3]. Penjelasan Istilah Ahli Hadits.
Maksud ‘Adalatus Shahabah ialah :“Bahwa semua shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara, yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhkan maksiat dan perkara-perkara yang syubhat. Para shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari beliau”. Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :”Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebesar-besar dosa, maka mereka menjaga sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau”. [7]
Maksud ‘Adalatus Shahabah ialah :“Bahwa semua shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara, yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhkan maksiat dan perkara-perkara yang syubhat. Para shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari beliau”. Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :”Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebesar-besar dosa, maka mereka menjaga sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau”. [7]
Al-Khatib Al-Baghdadi berkata :”Semua hadits yang
bersambung sanadnya dari orang-orang yang meriwayatkan sampai kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh diamalkan kecuali
kalau sudah diperiksa keadilan rawi-rawinya serta wajib memeriksa
biografi mereka dan dikecualikan dari mereka adalah shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘Adalah
(keadilan) mereka sudah pasti dan sudah diketahui dengan pujian Allah
atas mereka. Allah memberitakan tentang bersihnya mereka dan Allah
memilih mereka (sebagai penolong Rasul-Nya) berdasarkan nash
Al-Qur’an”. [8]
Imam Syairaji berkata dalam Tabshirah fi
Ushulil-Fiqh hal. 329 :”Semua shahabat sudah tetap keadilannya,
maka tidak perlu lagi diperiksa tentang keadaan mereka”. [9].
E. DALIL-DALIL TENTANG
KEADILAN SHAHABAT DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH.
[1]. Allah Berfirman.
[1]. Allah Berfirman.
“Artinya : Kalian
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan kalian
beriman kepada Allah”. [Ali-Imran :
110].
“Artinya : Dan demikian (pula) kami telah
menjadikan kalian umat yang adil dan
pilihan”. [Al-Baqarah : 143]
[2]. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam
Menjelaskan Bahwa Para Shahabat Dan
Umat Islam Yang Mengikuti Jejak Mereka Adalah orang-orang yang adil.
Sebagaimana sabda beliau.
“Artinya : Dari Abu Sa’id Al-Khudri adalah ia
berkata :”Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Nuh akan dipanggil pada hari kiamat. Lalu ia jawab :”Aku
penuhi panggilan-Mu dan Maha Bahagia nama-Mu wahai Rabb-ku”. Allah
bertanya :”Apakah sudah engkau sampaikan (dakwah/risalah) ?”. Ia
berkata :”Ya sudah”. Lalu umatnya di tanya ;”Apakah ia sudah
menyampaikan (risalah) kepada kalian ?.” Mereka berkata :”Tidak
pernah ada pengancam (Da’i) yang datang kepada kami ?! Allah
bertanya lagi pada Nuh ‘Alaihi sallam :”Siapakah yang akan
menjadi saksi bagimu (bahwa kamu sudah menyampaikan risalah)?” Ia
(Nuh) jawab :”Muhammad dan umatnya”. Kemudian ia menjadi saksi
bahwa ia telah menyampaikan risalah, dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas kalian. Demikianlah Allah
berfirman :“Dan demikian (pula) kami
telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan
agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas (perbuatan)
kalian”. Wasath dalam ayat ini bermakna adil.[Hadits Shahih Riwayat
Bukhari/Fathul Bari 8 : 171-172 No. 4487].
[3].Allah Meridhai Mereka (Para Shahabat Dari
Muhajirin Dan Anshar) Dan Orang-Orang Yang Mengikuti Jejak Mereka
Dengan Baik.
“Artinya : Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalirkan sungai-sungai didalamnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. [At-Taubah
: 100].
“Artinya : Sesungghnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepada mu
(Muhammad) di bawah pohon”. [Al-Fath : 18].
“Artinya : Muhammad Rasulullah dan orang-orang
yang bersama beliau adalah keras terhadap orang kafir, tetapi
berkasih sayang terhadap sesama mereka ; kalian lihat mereka ruku’
dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya …”. [Al-Fath :
29]
[4]. Sifat-Sifat Para
Shahabat Yang Disebutkan Dalam Al-Qur’an Adalah :
[a]. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar
beriman [Al-Anfaal : 74].
[b]. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus [Al-Hujuraat : 7]
[c]. Mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan [At-Taubah : 20]
[d]. Mereka adalah orang-orang yang benar [At-Taubah : 119]
[e]. Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa [Al-Fath : 26]
[f]. Mereka adalah orang-orang yang menjengkelkan orang-orang kafir dan mereka benci kepada kekafiran [Al-Fath : 29]
[g]. Dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam Al-Qur’an.
[b]. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus [Al-Hujuraat : 7]
[c]. Mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan [At-Taubah : 20]
[d]. Mereka adalah orang-orang yang benar [At-Taubah : 119]
[e]. Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa [Al-Fath : 26]
[f]. Mereka adalah orang-orang yang menjengkelkan orang-orang kafir dan mereka benci kepada kekafiran [Al-Fath : 29]
[g]. Dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam Al-Qur’an.
[5]. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Bersabda.
“Artinya : Sebaik-baik
manusia adalah zamanku ini, kemudian yang sesudah
itu, kemudian yang sesudah itu, kemudian nanti akan ada satu kaum
dimana persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan
sumpahnya itu mendahului persaksiannya”. [Hadits Shahih Riwayat
Bukhari 4:189, Muslim 7:184-185, Ahmad 1:378,417,434,442 dan
lain-lain].
[6]. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda.
“Artinya :Hendaklah orang yang hadir menyampaikan
kepada yang tidak hadir”.
Kata Ibnu Hibban :”Hadits ini sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa semua shahabat adil dan tidak satupun diantara mereka yang tercela dan lemah. [Al-Jarh wat Ta’dil oleh Abi Lubabah ; Ibnu Hibban 1:123].
Kata Ibnu Hibban :”Hadits ini sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa semua shahabat adil dan tidak satupun diantara mereka yang tercela dan lemah. [Al-Jarh wat Ta’dil oleh Abi Lubabah ; Ibnu Hibban 1:123].
“Artinya : Ibnu Abbas berkata : ‘Janganlah
kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang
dari mereka bersama Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih baik dari
amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh) tahun”. [Hadits
Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih] [10]
“Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Tidak akan masuk neraka seorang-pun dari
orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (di Hudaibiyyah)”.
[Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Muslim].
“Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta
dalam perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah”. [Hadits Shahih
Riwayat Ahmad III:396 dari Jabir].
Penjelasan :
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukan dengan jelas bahwa para shahabat Ridwanullahi ‘alaihim ajmain adalah orang-orang yang telah mendapat pujian dan sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya, mereka mempunyai jasa yang besar bagi Islam dan kum Muslimin.
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukan dengan jelas bahwa para shahabat Ridwanullahi ‘alaihim ajmain adalah orang-orang yang telah mendapat pujian dan sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya, mereka mempunyai jasa yang besar bagi Islam dan kum Muslimin.
Islam yang diterima oleh kaum Muslimin sampai hari
Kiamat adalah berkaitan dengan pengorbanan para shahabat yang ikut
serta dalam perang Badar dan perang-perang lainnya demi tegaknya
agama Islam. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan umat Islam bahwa apa yang mereka infaq-kan dan
belanjakan fii-sabilillah belumlah dapat menyamai derajat para
Shahabat, meskipun umat Islam ini berinfaq sebesar gunung Uhud berupa
emas atau barang-barang berharga lainnya.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata
tentang Shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
:”Tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka.
Mereka siang hari bergelimang pasir dan debu (di medan perang),
sedang di malam hari mereka banyak berdiri, ruku’ dan sujud
(beribadah kepada Allah) silih berganti, tampak kegesitan dari
wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di bara api bila
mereka ingat akan hari pembalasan (Akhirat), tampak bekas sujud di
dahi mereka, bila mereka Dzikrullah berlinang air mata mereka sampai
membasahi baju mereka, mereka condong laksana condongnya pohon
dihembus angin yang lembut karena takut akan siksa Allah, serta
mereka mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah”. [11] Kemudian
beliau berkata lagi :”Mereka adalah shahabat-shabatku yang telah
pergi, pantas kita merindukan mereka dan bersedih karena kepergian
mereka” [12]
F. IJMA ‘ULAMA
TENTANG ‘ADAALAH (KEADILAN0 SEMUA SHAHABAT RASULULLAH.
Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir th 392 wafat th 463) beliau berkata :”Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama”. [13]
Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir th 392 wafat th 463) beliau berkata :”Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama”. [13]
Ibnu Abdil Barr (363-463H) berkata :”Para shahabat
tidak perlu kita periksa (keadilan) mereka, karena sudah ijma’
Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa
mereka semua Adil”. [14]
Ibnu Hazm (384-456H) berkata :”Semua shahabat
adalah ‘adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan
mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan
mencintai mereka”. [15]
Ibnu Katsir (701-774H) berkata ;”Semua shahabat
adalah ‘adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur’an dan
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan
ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka
mengharap ganjaran yang baik (dari Allah)” [16]
Sebenarnya masih banyak lagi pujian dan sanjungan
para Ulama tentang ‘adalah (keadilan) shahabat, tetapi apa yang
sudah disebutkan sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi orang yang
punya bashirah.
G. SIKAP PARA ULAMA
TENTANG PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA PARA SHAHABAT.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728H) menerangkan dalam Fatawa-nya :”Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (kejelekan) mereka (semuanya) adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728H) menerangkan dalam Fatawa-nya :”Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (kejelekan) mereka (semuanya) adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [17]
Kata Ibnu Katsir :”Adapun perselisihan yang
terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka ada yang terjadi secara tidak sengaja
seperti Perang Jamal (antara Ali dengan ‘Aisyah) dan adapula yang
terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin (antara Ali dengan
Mua’wiyah). Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan
tetapi (bila salah) pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat
ganjaran kendatipun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua
ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati
kepada kebenaran daripada Mu’awiyah mudah-mudahan Allah meridhai
mereka semuanya (Ali, ‘Aisyah, Muawiyah dan para shahabat
mereka)”.[18]
Meskipun perselisihan yang terjadi diantara para
shahabat sempat membawa korban jiwa, yakni ada diantara mereka yang
gugur, tetapi mereka segera bertaubat karena mereka adalah
orang-orang yang selalu bertaubat kepada Allah dan Allah-pun
menjanjikan taubat atas mereka. Allah berfirman.
“Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [At-Taubah : 102].
“Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [At-Taubah : 102].
H. PARA SHAHABAT TIDAK
MA’SHUM.
Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara mereka segera istighfar dan taubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat”. [Hadits Hasan Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami’us Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431].
Abu Bakar Ibnul ‘Arabi berkata :”Dosa-dosa (yang dilakukan para shahabat) tidaklah menggugurkan ‘adalah (keadilan), apabila sudah ada taubat”. [19].
Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara mereka segera istighfar dan taubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat”. [Hadits Hasan Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami’us Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431].
Abu Bakar Ibnul ‘Arabi berkata :”Dosa-dosa (yang dilakukan para shahabat) tidaklah menggugurkan ‘adalah (keadilan), apabila sudah ada taubat”. [19].
Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa para shahabat yang
pernah bersalah semuanya bertaubat kepada Allah dan mereka tidak bisa
dikatakan nifaq atau kufur. Semua ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
telah sepakat bahwa para shahabat yang ikut serta dalam
persengketaan, ikut dalam perang Jamal dan perang Shiffin, mereka
adalah orang-orang yang beriman dan adil. Dan kesalahan mereka yang
bersifat individu dan berjama’ah tidak menggugurkan pujian Allah
atas mereka.
Abu Ja’far Muhammad bin Ali Al-Husain ketika
ditanya tentang orang-orang (para shahabat) yang ikut serta dalam
perang Jamal ia menjawab :”Mereka (para shahabat) adalah
orang-orang yang tetap dalam keimanan dan mereka bukan orang-orang
kafir”. [20]
Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, mereka
berkata :”Ali bin Abi Thalib menyalatkan jenazah para shahabat yang
memihak Mu’wiyah”. [21]
I. PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG ORANG-ORANG YANG MENCACI MAKI/MENGHINA PARA SHAHABAT
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
Imam Malik berkata ;
Imam Malik berkata ;
“Orang-orang yang
membenci para Shahabat Rasulullah adalah orang-orang kafir”.
[Tafsir Ibnu Katsir V hal. 367-368) atau IV hal. 216 cet. Daarus
Salam Riyadh.]
Al-Qadhi ‘Iyaadh berkata :
“Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang
yang menghina/mencaci maki para shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam harus dihukum ta’ziir (yakni
harus didera menurut kebijaksanaan hakim Islam -pen)”. [Fathul Bari
VII hal. 36].
Kata Imam Abu Zur’ah Ar-Raazi (wafat th 264H):
“Apabila engkau melihat seseorang
mencaci maki/menghina seseorang dari shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq
(kafir). Yang demikian karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah haq, Al-Qur’an adalah haq dan apa-apa
yang dibawa adalah haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita
adalah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka (orang-orang zindiq) itu mencela kesaksian kita agar bisa
membatalkan Al-Qur’an dan Sunnah (yakni agar kita tidak percaya
kepada Al-Qur’an dan Sunnah -pen). Merekalah yang pantas mendapat
celaan”. [22]
Imam Al–Hafizh Syamsuddin Muhammad ‘Utsman
Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi (673-747H)
berkata :
“Barangsiapa yang
mencaci mereka (para shahabat) menghina mereka, maka sesungguhnya ia
telah keluar dari agama Islam dan telah merusak kaum muslimin.
Mereka yang mencaci adalah orang yang dengki dan ingkar
kepada pujian Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan juga
mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan, tingkatan
dan cinta … Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari’at
(yakni Rasulullah). Mencela pembawa Syari’at berarti mencela kepada
apa yang dibawanya (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah)”. [23]
J. KHATIMAH.
Apa yang telah saya terangkan dari Al-Qur’an dan Sunnah kiranya sudah cukup jelas, lebih-lebih lagi dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu sikap kaum Mu’minim terhadap mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu :
Apa yang telah saya terangkan dari Al-Qur’an dan Sunnah kiranya sudah cukup jelas, lebih-lebih lagi dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu sikap kaum Mu’minim terhadap mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu :
[a]. Mereka sebaik-baik ummat.
[b]. Kita diwajibkan mengikuti jejak langkah mereka dengan baik [At-Taubah : 100] dan tidak boleh menyimpang dari jalan mereka [An-Nisaa’ : 15] dan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
[c]. Semua Shahabat adalah adil
[d].Kita tidak berkeyakinan bahwa para Shahabat ma’shum, karena tidak seorangpun yang ma’shum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita ridha kepada mereka dan kita mohonkan untuk mereka ampunan dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka [Al-Hasyr : 10].
[b]. Kita diwajibkan mengikuti jejak langkah mereka dengan baik [At-Taubah : 100] dan tidak boleh menyimpang dari jalan mereka [An-Nisaa’ : 15] dan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
[c]. Semua Shahabat adalah adil
[d].Kita tidak berkeyakinan bahwa para Shahabat ma’shum, karena tidak seorangpun yang ma’shum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita ridha kepada mereka dan kita mohonkan untuk mereka ampunan dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka [Al-Hasyr : 10].
K.
KESIMPULAN.
Golongan Orientalis, Yahudi dan Syi’ah adalah golongan yang paling banyak mencaci dan menghina para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aqidah Syi’ah yang menyatakan para Shahabat tidak adil, bahkan mereka mengkafirkan, mereka adalah orang yang sesat dan menyesatkan dan orang-orangnya dinyatakan kafir. [24]
Golongan Orientalis, Yahudi dan Syi’ah adalah golongan yang paling banyak mencaci dan menghina para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aqidah Syi’ah yang menyatakan para Shahabat tidak adil, bahkan mereka mengkafirkan, mereka adalah orang yang sesat dan menyesatkan dan orang-orangnya dinyatakan kafir. [24]
Hukum mencaci/menghina
para Shahabat adalah haram dan pelakunya akan dilaknat Allah,
Malaikat dan seluruh manusia.
Sabda Nabi :“Barangsiapa
mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan
seluruh manusia”. [Hadist Riwayat Thabrani]
Orang Munafiq dan Murtad dan mati dalam keadaan
demikian mereka adalah termasuk golongan kafir dan tidak termasuk
Shahabat meskipun berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Semua shahabat adalah adil dan tetap dikatakan
orang-orang yang beriman, meskipun mereka berselisih [Al-Hujuraat
9-10].
Sebesar apapun infaq yang kita keluarkan di jalan
Allah tidak akan dapat menyamai derajat seorang shahabat Rasulullah.
Kita wajib mencintai para shahabat. Kita seharusnya mendo’akan
orang-orang yang terlebih dahulu beriman dari pada kita :
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman ; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang”. [Al-Hasyr : 10]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi
12/ThI/1415-1995, Diterbitkan oleh Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat
Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran 241 A Surakarta
57152]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shurtani Mutadhodataani oleh Abul Hasan All Al-Hasani An-Nadwi : Aqaidus Syi’ah fii Miizan hal. 85-87 oleh DR Muhammad Kamil Al-Hasyim cet. I th, 1409H/1988M
[2]. Lihat Lisanul “Arab II:7; Al-Kilayat fi ‘Ilmir Riwayah hal.51 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi ; As-Sunnah Qablat-Tadwin hal. 387.
[3]. Al-Baa’itsul Hatsits Syarah Ikhtisar ‘Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M.
[4]. Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah I hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[5]. Lihat Fathul Mughits 3/93-95, ‘Ulumul-Hadits oleh Ibnu Shaleh hal. 146 ; At-Taqyid wal-idah Al-‘Iraqi hal. 292 Alfiyah Suyuti hal. 57; Fathul Bari 7/3;Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam Lil-Amidi:83; Tanbih Dzawi Najabah ila ‘Adalatis Shahabah hal. 11.
[6]. Lihat Tadribur-Rawi 2:213 oleh Imam Suyuthi cet. Daarul Maktabah ilmiyah 1399H/1979M ; Fathul-Mughits 3:140 Ushulul-Hadits 405-406.
[7]. Tadribur-Rawi 2 hal. 215
[8]. Al-Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah hal.93
[9]. ‘Umul Hadits hal. 329, Libni Shalah ; Mudzakirah Ushulil-Fiqhlis-Syahqithi hal. 126
[10]. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469 hal, Takhrij Syaikh Al-Albani
[11]. Najhul Balaghah yang di tahqiq oleh Dr. Shubhi Shaleh cet. Daarul Kutub Al-Lubnani (Beirut) hal. 143,177,178 dinukil dari Shuratani Mutadhatani, Tarjamah Bey Arifin hal. 16-17
[12]. Ibid
[13]. Al-Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah hal. 49; Tanbih Dzawin Najabahilla ‘Adaalatis Shahabah oleh Qurasy bin Umar bin Ahmad hal. 23
[14]. Al-Iti’ab fi Ma’rifati Ashab Juz I hal. 9 cet. Daarul Fikr 1398H
[15]. Ushulul Hadits hal. 386 dinukil dari Al-Ihkam fil Ushulil-Ahkam
[16]. Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits hal.154
[17]. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jilid III hal. 406
[18]. Al-Ba’itsul Hatsits syarah Ikhtisar Ulumil hadits hal. 154
[19]. Al-‘Awashin minal Qawashim tahqiq Syaikh Muhibudin Al-Khatib hal. 94 Daarul Mathba’ah Salafiayh cet V Cairo.
[20]. Ushulul -Itiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam Al-Lalikai, tahqiq DR Ahmad Sa’ad Hamdan jilid V & VI hal 1059-1060 cet. Daar Thayyibah-Riyadh
[21]. Idem
[22]. Al-Awashim minal Qawashim hal. 34
[23]. Al-Khabair Adz-Dahabi, tahqiq Abu Khalid Al-husain bin Muhammad as-Sa’idl hal. 352-353 Daarul Fikr th 1408H cet. I
[24]. Limaza Kafaral ‘ulama Al-Khumaini oleh Wajih Al-Madini cet. cairo I 1408H; Aqaidus Syi’ah fil Mizan oleh Dr Muhammad Kamil Al-Hasyimi cet I, th 1409
_______
Footnote
[1]. Lihat Shurtani Mutadhodataani oleh Abul Hasan All Al-Hasani An-Nadwi : Aqaidus Syi’ah fii Miizan hal. 85-87 oleh DR Muhammad Kamil Al-Hasyim cet. I th, 1409H/1988M
[2]. Lihat Lisanul “Arab II:7; Al-Kilayat fi ‘Ilmir Riwayah hal.51 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi ; As-Sunnah Qablat-Tadwin hal. 387.
[3]. Al-Baa’itsul Hatsits Syarah Ikhtisar ‘Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M.
[4]. Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah I hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[5]. Lihat Fathul Mughits 3/93-95, ‘Ulumul-Hadits oleh Ibnu Shaleh hal. 146 ; At-Taqyid wal-idah Al-‘Iraqi hal. 292 Alfiyah Suyuti hal. 57; Fathul Bari 7/3;Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam Lil-Amidi:83; Tanbih Dzawi Najabah ila ‘Adalatis Shahabah hal. 11.
[6]. Lihat Tadribur-Rawi 2:213 oleh Imam Suyuthi cet. Daarul Maktabah ilmiyah 1399H/1979M ; Fathul-Mughits 3:140 Ushulul-Hadits 405-406.
[7]. Tadribur-Rawi 2 hal. 215
[8]. Al-Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah hal.93
[9]. ‘Umul Hadits hal. 329, Libni Shalah ; Mudzakirah Ushulil-Fiqhlis-Syahqithi hal. 126
[10]. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469 hal, Takhrij Syaikh Al-Albani
[11]. Najhul Balaghah yang di tahqiq oleh Dr. Shubhi Shaleh cet. Daarul Kutub Al-Lubnani (Beirut) hal. 143,177,178 dinukil dari Shuratani Mutadhatani, Tarjamah Bey Arifin hal. 16-17
[12]. Ibid
[13]. Al-Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah hal. 49; Tanbih Dzawin Najabahilla ‘Adaalatis Shahabah oleh Qurasy bin Umar bin Ahmad hal. 23
[14]. Al-Iti’ab fi Ma’rifati Ashab Juz I hal. 9 cet. Daarul Fikr 1398H
[15]. Ushulul Hadits hal. 386 dinukil dari Al-Ihkam fil Ushulil-Ahkam
[16]. Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits hal.154
[17]. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jilid III hal. 406
[18]. Al-Ba’itsul Hatsits syarah Ikhtisar Ulumil hadits hal. 154
[19]. Al-‘Awashin minal Qawashim tahqiq Syaikh Muhibudin Al-Khatib hal. 94 Daarul Mathba’ah Salafiayh cet V Cairo.
[20]. Ushulul -Itiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam Al-Lalikai, tahqiq DR Ahmad Sa’ad Hamdan jilid V & VI hal 1059-1060 cet. Daar Thayyibah-Riyadh
[21]. Idem
[22]. Al-Awashim minal Qawashim hal. 34
[23]. Al-Khabair Adz-Dahabi, tahqiq Abu Khalid Al-husain bin Muhammad as-Sa’idl hal. 352-353 Daarul Fikr th 1408H cet. I
[24]. Limaza Kafaral ‘ulama Al-Khumaini oleh Wajih Al-Madini cet. cairo I 1408H; Aqaidus Syi’ah fil Mizan oleh Dr Muhammad Kamil Al-Hasyimi cet I, th 1409
sumber
: http://almanhaj.or.id/content/1195/slash/0/semua-sahabat-rasulullah-adalah-adil-dan-haram-hukumnya-mencaci-maki-mereka/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar